Dan dari Manusia Ia Menciptakan Duka: Chapter 2

*

Tentang Duka Para Pemuda

Seal, Inggris

28 Mei 1941

Coldrum Long Barrow ada bukan sebagai daya tarik wisata para pemuda di sana, melainkan tolok ukur: akankah mereka turut ditampung sebagai tulang-belulang tak terkenali? Akankah hidup mereka turut tergerus zaman, hingga menjadi potongan-potongan memori yang hanya diingat orang-orang mati?

Hantu-hantu gelisah belum tiba saat ini, catat Robert Olsson untuk Celisse de la Mare; mungkin nanti, mungkin tak lama lagi.

Para pemuda mengeja duka dengan cara masing-masing: Darren Boone mengitari barak tiga keliling tiap pukul 11 malam, Eugene Macy berkutat dengan tali sepatunya yang dilepas-pasang, Maurice Flint mencabuti alis merahnya kala berkaca sebelum tidur, dan puluhan cara berduka lain yang tak dibilang-bilang. Pada malam-malam hari yang suntuk, setelah sorot-sorot kesenduan padam di balik kelopak-kelopak mata yang tertutup, barak itu riuh oleh dengkur dan desau igauan mereka yang berharap diberi mimpi baik: tentang masa-masa yang jauh, tempat para ibu dan kekasih yang wajahnya tak gemerlap oleh air mata sedih; tempat para pemuda masih sibuk dengan kepelikan remaja; tempat aspirasi dan ambisi yang pupus bersama cahaya matahari. Pada pagi hari, mereka bangkit lagi sebagai pria-pria kebanggaan negara, dan tak ada yang mampu menunjukkan selain daripada itu sebelum api semangat patriotik akhirnya lenyap ditelan bulan.

Terkadang jika duka-duka sulit sekali mengurai dengan sendirinya, mereka berkumpul di luar barak, mengantre pasokan Woodbine dari Oswald Rutherford, lalu termenung bersama-sama. Jika duka yang bergumul dalam kesunyian terlampau menyesakkan, ada suara-suara yang terangkat dan mengulang janji-janji berbalut dendam. “Lusa kita akan memegang senjata,” kata Jeremy Netter, misalnya, “Tak lama lagi kita akan memegang senjata.” Dan ini berarti baik, sebab mereka diizinkan memiliki ilusi tentang kekuatan di antara kedua tangan, seolah mereka sungguhan punya kuasa. Lalu Ken Linville, diiringi persetujuan pasif pria lainnya, meninju udara dengan sengit, meski matanya tak berbinar semangat; di antara seruan-seruannya:

“Aku terlahir untuk ini!”

Hear, hear!

“Akan kubinasakan para Jerman bajingan itu!”

Hear, hear!

“Kita buat handai tolan mereka ganti meraung tiap dapat berita!”

Hear, hear!

Dari sana harapan seolah nyala kembali, diiringi ucapan-ucapan seperti:

“Gadisku akan setia menunggu.”

“Aku akan disambut bagai pahlawan oleh adik bungsuku.”

“Pulang nanti, di dapur akan ada teh dan bacon hangat yang dibuat ibuku.”

Sungguh sahut-sahutan penuh harap itu diharapkan bertahan lebih lama, lebih riuh, lebih menjanjikan, tetapi mereka tidak tengah berbahagia (tidak bisa berbahagia), sebab di lahan ini mereka ditempa untuk memunggungi seluruh sukacita, demi kebaikan—demi kebahagiaan seluruh bangsa.

Pada akhirnya, dengan terlambat, bulan membubung di angkasa. Lepas menjaga abu di ujung sigaret, masing-masing pria menundukkan kepala agar angin tak menerbangkan kesedihan mereka kepada para ibu, para kekasih, para adik, sebab rumah adalah setia, adalah sambutan, adalah hangat dan segala sukacita. Masing-masing pria mengitari barak tiga keliling tiap pukul 11 malam, berkutat dengan tali sepatu yang dilepas-pasang, mencabuti alis kala berkaca sebelum tidur, atau membaca ulang surat-surat dan menggoresi kertas dengan sosok-sosok yang telah terekam jelas dalam benak. Lalu mereka berbaring, terpejam, memanjatkan doa-doa untuk dapat kembali, nanti, segera, asalkan tetap diantar ke ambang pintu rumah, lalu terlelap, begitu saja.

Hantu-hantu gelisah belum tiba saat ini, tulis Robert Olsson pada Celisse de la Mare; mungkin nanti, mungkin tak lama lagi.

Leave a comment