Dan dari Manusia Ia Menciptakan Duka: Chapter 1

Tentang Kepergian

Oxfordshire, 20 Maret 1941

Seminggu setelah panggilan wajib militer

Saat Henry angkat kaki, Natal ialah perkabungan. Lalu, ayahnya pergi; rumah ialah pekuburan. Para penghuni maka hanya sosok-sosok sunyi yang berkelebatan dalam duka. Dan kini, gilirannya menukar nyawa.

Ketika hari keberangkatannya tiba, yang ditunggunya adalah pembebasan. Dua tahun telah berlalu semenjak terakhir kali ia merasa punya kuasa, tak hanya memegang peran sampingan, dengan kedua tangan kukuh membiakkan ragam mahakarya. Pikirnya—dan ia sempat amat meyakini ini—hidup sungguhan telah berjalan kembali dengan benar. Namun realitas lain yang mengikuti rupanya tak begitu sempurna. Puing-puing peristiwa lalu yang sempat terlewatkan oleh ia yang terbuai sungkawa, kini tampak lebih nyata.

Ada penyesalan yang bertalu-talu di dadanya. Kedua tangannya terpaku di pangkuan, antar-jari berjalinan, mengumpulkan kehangatan yang mangkir dari tubuhnya. Rambutnya yang menyemak itu telah dipotong pendek, jatuh dua setengah sentimeter di bawah telinga. Pemuda itu sempat terbayang matron sekolah ayu yang menggunting rambut masai ia, mengubahnya menjadi paling pendek sepanjang yang ia ingat, dan waktu berlari amat cepat bagi mereka yang tengah mengingat.

Bob mengusap kepalanya dan tahu bahwa ikal-ikal liarnya masih bersarang di sana, begitu pula kerumun pikiran yang tak lantas gugur bersama helai-helai yang terpangkas. Selain itu, sesungguhnya tak ada yang benar-benar berubah dari apa yang terlihat. Ia masih punya dirinya; tubuhnya masih utuh, segar-bugar tanpa kekurangan apa pun, dan hatinya membusuk. Robert Olsson masihlah Bob yang itu—yang tak banyak bicara, mudah sekali dibuat canggung, dan kemampuan cipta-wujud tangannya amatlah kian memburuk. Ini adalah anugerahnya. Ini adalah apa yang seharusnya disyukurinya. Ia tahu (dan diketahui) dirinya. Ia mengenal (dan dikenali) dirinya.

Setelah selesai dengan perlengkapan bersahaja yang siap dibawa, Bob menatap ketiga adiknya ibarat seorang ayah tua yang hendak tutup usia—dan mungkin perandaian ini akan menjadi benar adanya. Antonia, Elsie, dan Priscilla berbaris di depan rumah mereka, yang diapit dua pohon raksasa, diterpa sepoi angin yang memancing gigil, begitu pula Janine Olsson dengan jejak air mata di pipinya. Sebelum saat ini, sang ibu telah mengajaknya bicara empat mata, dan lepas sedetik Bob membuka pintu kamar orang tuanya, wanita itu menariknya dalam pelukan erat yang amat janggal dirasanya. Tragedi rupanya memang benar bisa merekatkan.

“Jaga diri baik-baik,” pesan Janine, setelah menitipkan isakan yang amat jarang dibaginya.

“Tak usah jago-jago berkelahi. Jago-jagolah bersembunyi,” kata Elsie, disambut sodokan di rusuk oleh Antonia.

“Temani aku mengecat telur, Paskah nanti,” kata Priscilla.

“Dan,” paksa Antonia. Tatapannya bagai bara di perapian. “Dan, bacalah buku-buku kirimanku. Aku menitipkan separuh jiwaku di sana.”

Dramatis, seperti biasa, komentar Bob.

“Sampai jumpa.”

“Sampai jumpa.”

“Sampai jumpa.”

“Jangan pergi terlalu lama.”

Jika kembali, sambutlah aku seperti ini lagi, meski yang datang hanya sebaris nama beserta kenangan yang kalian lalui bersamanya.

Leave a comment